Hasilkan Uang Dari Short Link

[Curhat Cinta] Cinta Selalu Tahu Kapan Harus Berhenti

Source: Pexels (Git Stephen Gitau)


Dia bukan cinta pertamaku. Namun, ia yang mengajarkanku bahwa cinta pada pandangan pertama tidak tidak mungkin. Dia juga yang mengajarkanku, bahwa untuk mempunyai seseorang, cinta saja tidak cukup. Cinta bukan masalah siapa yang jatuh cinta duluan, atau siapa yang mempunyai cinta lebih besar. Di gesekan pena ini, saya akan menceritakan patah hati terindahku. Kisah ini dimulai dari hari pertamaku menjadi anak Sekolah Menengah Pertama di sebuah sekolah swasta di Jogja.

 Aku pertama kali melihatnya pada dikala Masa Orientasi Sekolah (MOS). Panggil saja ia ‘Biru’.
 Biru bertubuh kurus, berkulit coklat manis, dan mempunyai dagu agak runcing. Rambutnya hitam, dipangkas rapi dan sederhana. Kurang lebih, ia ibarat model ideal untuk banner panduan berseragam ke sekolah.

 Kali pertama saya melihat Biru, jantungku pribadi berdenyut dengan cara yang gila. Rasa canggung menjalari tiap inci kulitku setiap melihat mata Biru, atau sekadar berpikir bahwa ia melihatku.
 Biru mempunyai sorot mata tajam. Dingin sekaligus lembut. Pada masa itu, novel dan film berjudul Twilight sedang naik daun. Setiap membaca bagian Edward Cullen, vampir cool dengan wajah super tepat, yang terbayang dalam benakku pribadi Biru.

Saat MOS berakhir, saya sangat yakin bahwa saya sudah jatuh cinta kepada Biru. Setiap ketika, wajah Biru terngiang dalam pikiranku. Seperti peran yang menuntut untuk diselesaikan. Seperti hutang yang minta dilunasi. Seperti matahari yang meski jauh, selalu terlihat oleh Bumi. Ya, saya selalu ingin menyempatkan mata untuk Biru, meski hanya sekelebat saja. Dari jauh pun tidak apa-apa.

Balkon kelasku berseberangan dengan gerbang sekolah. Jaraknya memang jauh, dipisahkan lapangan upacara, tapi siapa pun yang melewati gerbang sanggup terlihat. Setiap pagi, saya bersama beberapa sobat perempuan selalu mengawasi gerbang dari balik susur balkon. Masing-masing dari kami mempunyai abang kelas yang disukai. Ketika abang kelas yang kami suka datang, kami selalu heboh sendiri. Biru biasanya datang mepet pukul 7. 

Aku hingga hafal jaket yang biasa ia kenakan. Jaket hijau army, digulung hingga ke lengan. Terkadang, ia juga menggendong tas gitar berwarna hitam.
Jam istirahat yakni waktu yang paling kutunggu. Bersama sahabat-temanku, kami nongkrong di depan Ruang BK. Ruang BK berada di gedung terpisah dengan gedung kelas. Gedung itu bersebelahan dengan lapangan basket. 

Meski itu lapangan basket, bawah umur cowok biasa bermain futsal di sana. Nah, di sini letak kebahagiaan sederhanaku: Melihat Biru bermain futsal. Karena di lantai bawah selalu ramai, saya dan sahabat-temanku menentukan posko pengawasan yang lebih nyaman, yaitu Ruang BK di lantai dua. Selain sepi, kami sanggup melihat mereka yang bermain di bawah dengan lebih terperinci. Kadang, terjadi momen canggung dikala tiba-tiba Biru mendongak dan pandangan kami bertemu. Aku segera berlutut untuk menyembunyikan diri. Mungkin, Biru sudah menyadari dirinya diawasi.

Semakin hari, saya merasa Biru semakin sempurna. Apalagi setelah ia menjadi ketua OSIS. Di kalangan anak-anak kelas 7, sosoknya diidolakan. Tampan, aktif berorganisasi, pergaulannya juga luas. Ini membuatku semakin gelisah. Semakin banyak orang yang mengenalnya, semakin besar kemungkinan Biru dekat dengan seseorang. Apalagi lingkungan pergaulannya juga diisi belum dewasa populer. Aku pun mencari jalan pintas supaya setidaknya ia mengetahui diriku. Dimulai dari jalan masuk yang paling mudah: Menjadi sobat Facebook Biru.

Rasanya pingin terbang ketika Biru mendapatkan usul pertemananku. Tanpa basa-bau, saya menelusuri akun Biru. Aku berusaha memahami Biru melalui setiap postingannya. Tapi semakin jauh, saya merasa tidak beres. Kecurigaanku pun timbul dikala menemukan foto-foto Biru bersama seorang perempuan berkacamata. Perempuan itu terlihat lebih akil balig cukup akal darinya, berambut agak kecoklatan, dan berwajah cerdas. Aku membaca komentar-komentar pada foto itu dan yang terjadi… Hatiku seperti dijatuhkan dari atas jurang, diseret ombak, dicabik-cabik batu karang. Ambyar byar byar byar. Malam itu juga air mataku pecah menyerupai hujan di bulan Februari.

Meski kesimpulan yang kudapat itu gres kemungkinan, saya tetap sulit menerima. Kemungkinan bahwa Biru sudah mempunyai kekasih. Kemungkinan bahwa wanita itu pacar Biru. Bahkan, memikirkannya saja sudah menciptakan hatiku berdenyut tak karuan. Rasanya ingin marah, tapi saya tidak mempunyai hak untuk itu. Kepada siapa saya harus murka? Lagipula, siapa saya?

Sambil berusaha meyakinkan diri bahwa kesempatan masih ada, saya menghubungi sahabatku, Nana. Kebetulan, ia bersekolah di tempat yang sama dengan si Terduga-Pacar-Biru. Melalui Nana, saya berusaha mengorek informasi mengenai apapun wacana si Terduga-Pacar-Biru. Entah sifatnya, atau menyerupai apa ia di sekolah. Mudah saja, sebab yakni ternyata, si Terduga-Pacar-Biru cukup terkenal. Bahkan, ia juga terkenal bakir dan galak. Semakin ingin tau, saya menetapkan mengirim permintaan pertemanan ke si Terduga-Pacar-Biru. Sebentar kemudian, ia menerimanya. Ke depannya, saya akan memanggilnya Akira.

Saat menulis ini, saya berpikir betapa gilanya diriku hari itu. Nekad, saya mengirim pesan ke Akira. Aku mengonfirmasi status hubungannya dengan Biru. Setelah mengobrol singkat, saya memberanikan diri memberitahunya bahwa saya menyukai pacarnya. Dia tidak peduli, tapi ada satu kelegaan yang kudapat. Aku merasa kebodohanku bermanfaat.

Tanpa saya duga, tiba sebuah hari di mana saya sanggup mengobrol eksklusif dengan Biru. Saat itu, guru Bahasa Indonesia menugaskan kelasku membuat artikel menurut wawancara. Mungkin, keberuntungan sedang berpihak kepadaku. Tugas dibuat secara berkelompok dan secara otomatis, kelompokku diisi oleh Geng Susur Balkon. Teman-temanku sungguh baik hati. Tanpa perlu usul muslihatku, mereka sudah berinisiatif menentukan Biru sebagai narasumber. Alasannya berpengaruh, alasannya yakni yakni Biru yakni ketua OSIS. Banyak topik mampu dikorek dari jabatannya itu. Singkat kisah, saya membuat janji pertemuan dengan Biru melalui Facebook. Dan… ia mau.

Lokasi wawancara kami di UKS, sepulang sekolah. Aku bertugas mewawancarai Biru, sementara yang lain menunggu di luar. Belum mulai wawancara saja, jantungku sudah heboh tak karuan. Rasanya sampai-hingga saya sanggup mendengar bunyi dug dug dari dasar dadaku.

Biasanya, saya hanya melihat Biru dari seberang lapangan. Kini, jarak kami hanya terpisah satu meter. Aku berusaha menyamarkan kegugupanku, meski awalnya saya tak berani memandang matanya. Sudah ada skenario yang kusiapkan dalam otakku. Bukan hanya skenario pertanyaan, tapi skenario tentang bagaimana saya harus bersikap. Aku sudah memperkirakan mungkin Biru suka dengan tipe cewek galak, sehingga saya berpikir: Jika saya menyampaikan kesan galak, mungkin ia akan tertarik kepadaku. Ya, mengetahui bahwa ia milik orang lain tidak cukup untuk membuatku menyerah. Setiap pertanyaan kulemparkan dengan nada sinis dan sengak. 

Di final wawancara, saya meminta Biru menuliskan nama lengkapnya di lembaran notesku. Notes ini kusimpan hingga bertahun-tahun kemudian.
Hingga setahun setelah hari itu, saya masih berusaha menyampaikan kesan galak kepada Biru. Terkadang kami berpapasan di tangga, di koridor, di kantin… Aku berusaha memberikan sikap tidak peduli. Tapi, ia lebih tidak peduli.

Akhirnya, dengan perasaan patah, saya kembali berbicara dengan Akira. Memintanya menjaga Biru baik-baik. Tanpa kusangka, Akira malah menyambutku dengan ramah. Dia bertanya, “Kamu sesuka itu ya sama Biru?” Lalu, percakapan pun berlanjut ke SMS. Akira bercerita, memang mereka saling mencintai, tetapi Akira sering merasa gagal memahami Biru. Akira terkesan dengan betapa besarnya perasaanku kepada Biru, hingga-hingga ia menulis di Facebook-nya: Cinta tidak harus mempunyai, bukan?

Hingga kesannya, datang hari di mana tidak ada satu pun di antara kami yang mempunyai Biru. Hubungan Akira dengan Biru berakhir.

Alih-alih senang, yang kurasakan justru sedih. Di dikala saya sudah berhasil berpikir Akira memang terpantas untuk Biru, kekerabatan mereka kandas. Aku tidak ingin mengulangi langkah yang sama lagi untuk memastikan Biru telah menentukan kekasih yang tepat. Tapi, namanya masih sayang, saya masih berharap kelak Biru menyadari saya lah orang yang ia cari.

Aku terus menunggu. Setahun, dua tahun… Sampai seragam SMP berubah menjadi seragam SMA, dan seragam SMA ditanggalkan. Ada saatnya saya ingin bertanya, pernahkah saya melintas di pikiran Biru? Walau hanya sekilas saja? Saat di keramaian, kadang saya berharap akan menemukan wajahnya. Namun, lama-lama rasanya lelah juga. Aku selalu gagal mengasihi orang lain, alasannya adalah yakni sosok Biru terpatri dalam ingatanku. Lalu, saya pun bertanya-tanya: Apakah saya benar-benar menyayangi Biru atau itu hanya selesai dari perasaan kecewa setelah gagal mendapatkan seseorang?

Lambat laun, perasaan itu memudar. Memudar sehabis saya berusaha mendapatkan kenyataan, memahami diriku sendiri, dan mensyukuri seluruh masa lalu. Aku berhasil melepas Biru, begitu juga notes berisi gesekan pena tangannya yang kini entah berada di tong sampah mana.

Aku tidak menyesal pernah menyukai Biru. Perasaan itu justru membawaku menuju perjalanan-perjalanan yang menarik. Bahkan, kalimat ‘Cinta tidak harus mempunyai, bukan?’ menginspirasiku menulis sebuah dongeng pendek. Cerita pendek perihal boneka yang jatuh cinta kepada insan, tetapi insan itu tidak menyadarinya. Tulisan itu menjadi dongeng pendek pertamaku yang dimuat oleh media nasional dan hal itu memotivasiku untuk menulis hingga kini. 

Yang lucu lagi, terkadang ayah Biru juga memberi komentar di status Facebook-ku yang nyeleneh. Padahal, kami tidak saling kenal.
Yah, sekarang, Biru sudah bersama cinta yang lain. Begitu pula saya. Tidak ada lagi tanggungan di hatiku, alasannya yakni ruang di dalam sana tidak lagi terbagi-bagi. Aku juga mampu menjadi diriku sendiri, tanpa harus menyesuaikan ‘gadis menyerupai apa yang ia sukai.’
Cinta memang selalu tahu kapan harus berhenti dari tempat yang salah, semoga ia menemukan daerah yang tepat untuk dijadikan rumah.

Tulisan ini merupakan kiriman pembaca dan belahan dari LINE TODAY Writing Contest: Skandal Asmara 2020.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "[Curhat Cinta] Cinta Selalu Tahu Kapan Harus Berhenti"

Post a Comment